Pelajar Muhammadiyah Harus Kritis Membangun Pendidikan Nasional

pelajar muhammadiyah

Modernis.co, Jember – Seperti yang kita ketahui IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) merupakan organisasi otonom Muhammadiyah yang bergerak dibidang atau ranah pelajar.

Muhammadiyah melahirkan IPM dengan tujuan melebarkan sayap-sayap dakwahnya dalam ranah pelajar. Dengan demikian Muhammadiyah ingin menjadikan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dimulai dari pendidikan dasar yang ditampung dan dibina di IPM.

Tujuan IPM sendiri yaitu “Terbentuknya pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia, dan terampil dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai ajaran Islam sehingga terwujudnya masyarakat islam yang sebenar-benarnya”. 

Terlihat jelas bahwa IPM ingin membentuk pelajar muslim yang berilmu, berakhlak mulia dan terampil yang tidak bergeser dari ajaran Islam.

Ketika kita berorganisasi otomatis kita terikat dalam aturan-aturan yang telah ditetapkan, dalam IPM tercantum pada AD/ART. Bukan hanya di bidang keislaman tapi IPM menuntut pelajar muslim bisa aktif di bidang kemasyarakatan.

Selain belajar di kelas pelajar Muhammadiyah diharapkan dapat kritis terhadap perubahan lingkungan dan masyarakat. Bukan hanya itu, mereka dituntut dapat berkontribusi langsung kepada masyarakat khususnya pelajar. Karena pelajar merupakan bagian dari masyarakat.

Arah atau sasaran gerakan yang dinaungi oleh IPM ialah pelajar. IPM diharapkan lebih fokus lagi penerapan 3P (penyadaran, pemberdayaan & pembelaanya). Pelajar Muhammadiyah merupakan Anak Panah Muhammadiyah. 

Saat ini sudah waktunya kader Muhammadiyah mampu kritis terhadap kondisi bangsa khususnya pada perkembangan pelajar. IPM harus mampu menjadi pelopor dalam keberlangsungan bangsa.

Dewasa ini pemerintah belum menemukan spesifikasi pendidikan sesuai potensi siswa. Hal ini dibuktikan dengan adanya kualitas siswa yang masih rendah. Hal ini dibuktikan adanya problem sosial pelajar yang dimana sangat berpengaruh terhadap kualitas siswa. 

Dapat dicontohkan pada (20/12) lalu terdapat insiden tawuran antar pelajar di bekasi, jawa barat yang menewaskan siswa bernama Indra Permana dengan luka bacok di sekujur tubuhnya. (metro.sindonews.com)

Tidak hanya masalah sosial pelajar, masalah juga timbul dari output atau orientasi pendidikan untuk masa depan siswa. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Mencatat tujuh permasalahan pendidikan di Indonesia. Salah satunya ialah mengenai ketidaksesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja.

“Saat ini ada lebih dari tujuh juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap pakai”, ungkap JPPI.

Hal ini menunjukkan bahwa adanya gap antara dunia industri dengan ketersedian tenaga terampil di Indonesia. Ini penting, sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja asing akan meminggirkan dan mempensiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu menjawab masalah ini, jelasnya. (republika.co.id)

Dalam kurun waktu 12 tahun pendidikan, banyak sekolah belum mampu mengarahkan serta memotivasi siswa dalam lingkup sosial. Tidak hanya itu, pemerintah juga belum mampu menemukan serta memetakan potensi siswa. Lantas timbul pertanyaan, apakah pendidikan Indonesia tidak memiliki visi ke depan?.

Saat ini apakah kualitas guru sudah memenuhi sesuai dengan kebutuhan siswa? Lalu apakah guru sudah mampu menjadi teladan bagi siswa?

Berbicara masalah kualitas guru, hari ini berkenaan dengan agenda pemerintah terkait Tes Calon Pegawai Negeri Sipil, terasa dunia pendidikan sudah ada perhatian khusus. Hal ini dibuktikan dengan adanya kualifikasi atau tes bagi calon guru. 

Namun apakah calon guru benar-benar mengikuti tes tersebut untuk benar-benar mampu membuktikan kualitasnya sebagai teladan bagi siswa? Bareskrim Mabes Polri geledah rumah dan kantor bupati Musi Rawas Utara dengan dugaan suap terkait tes CPNS yang menyeret 4 tersangka dugaan penerimaan suap. (cpnsindonesia.com)

Hal ini menunjukan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih di bawah harapan bersama. Yang seharusnya kualitas pendidikan menjadi ujung tombak kemajuan bangsa dengan melihat kualitas guru sebagai teladan siswa dan pusat transformasi ilmu ternyata masih di salah gunakan.

Lalu bagaimana nasib pelajar Indonesia?

Dengan melihat kualitas guru di atas ada sikap pesimis terhadap pola pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan kualitas belajar mengajar tergantung daripada kualitas guru. 

Seharusnya adanya CPNS sebagai kualifikasi kualitas guru yang diharapkan mampu memberikan pendidikan yang baik terhadap siswa sehingga kualitas belajar semakin meningkat hal ini perlu dikritisi bersama bahwa kualitas belajar tidak akan pernah ada manakala mafia pendidikan masih terleha-leha di negara ini.

“Jika guru tidak bisa menjadi teladan, maka hilanglah jati diri keguruannya. Karena itu, keteladanan inilah yang kita dorong. Bagaimana guru tampil sebagai teladan, atau the significant other,” tutur Muhadjir seperti dikutip dari laman resmi Kemendikbud.

Di era tahun 1960 sampai 1970 an Indonesia menjadi acuan pendidikan bagi Negara Malaysia. Hal ini dibuktikan adanya pengiriman tenaga pengajar ke Malaysia. Dapat kita bayangkan betapa tertinggalnya pendidikan di negara tetangga dibandingkan negara kita. Namun sekarang bagaimana kondisinya?. Saat ini banyak pelajar Indonesia yang berbondong-bondong belajar ke Malaysia.

Saat ini kurikulum di Indonesia masih tertinggal dengan kurikulum di negara lain. Pasalnya di Indonesia, dalam kurikulum 13 hanya mengajarkan siswa tentang HOTS (Higher Order Thinking Skills), namun tidak mengajari siswa bagaimana cara meraih penalaran tingkat tinggi.

Saat di Indonesia tengah berkutat dengan HOTS, siswa lain di dunia sudah melaksanakan STEAM (Science, Technology, Engineering, Art and Math). STEAM diajarkan sejak 2019, di mana seluruh bidang ilmu saling berkaitan. (indopos.co.id). Hal ini memperlihatkan kualitas pendidikan dirasa masih kurang dan tertinggal.

Dalam segi fasilitas pendidikan, pemerintah dalam pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marjinal masih jadi impian. Marjinal di sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak yang berkebutuhan khusus. Di ungkap oleh JPPI dalam republika.co.id.

Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok tersebut. Program BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena nyatanya masih banyak anak miskin yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut. (republika.co.id)

Dengan adanya beberapa problematika di atas, harapannya pemerintah mampu menuntaskan dengan solusi-solusi yang tepat. Sehingga pendidikan di Indonesia mampu bersaing serta mampu melahirkan kader bangsa yang kompeten.

Saat ini sudah saatnya seluruh Organisasi Otonom Muhammadiyah untuk ber-ta’awun atau dalam kata lain bergotong royong dalam membangun negeri. Sebagai pelajar Muhammadiyah yang berfokus pada gerakan pelajarnya diharapkan mampu memberikan sumbangsih untuk bangsa.

IPM harus mampu melahirkan kader bangsa yang berdedikasi untuk umat dan senantiasa mengedepankan kemaslahatan umat sehingga terwujudnya negeri yang aman dan damai di bawah perlindungan Allah SWT.

Oleh: Firda Dwi Aprilyawati (Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah Kab. Jember).




Redaksi
Redaksi

Mari narasikan pikiran-pikiran anda via website kami!

Related posts

Leave a Comment